"Mba, aku punya temen yang aneh banget lho," adikku berkata tiba-tiba memecahkan kesunyian sore itu.
"Hmm," aku hanya menggumam mendengar pernyataan adikku tanpa melepaskan tatapan mataku dari buku yang sedang kunikmati isinya.
"Bener lho Mba, dia tuh salah satu orang teraneh yang pernah aku jumpai," lanjutnya lagi.
"Ya, wajar aja lah dek, orang aneh kayak kamu, pasti temennya juga aneh kan?" Aku hanya menjawab pernyataan adikku sekenanya, sambil tersenyum menggodanya.
"Mba mau denger nggak sih? ini serius, ntar mba rugi kalo gak mau dengerin aku," lanjutnya dengan nada sedikit lebih tinggi.
"Ya, kalau kamu merasa dia aneh, jangan dijadiin temen doong, sekarang aja kamu tu dah aneh banget, ntar gaul sama dia, bisa mampus Mba ngadapin kamu," jawabku sekenanya.
Adik bungsuku itu tidak memperdulikan jawabanku barusan. Melihat aku meletakkan bukuku, dengan muka yang serius dan berkerut dia mulai bercerita. Seperti biasa, kalau ekspresinya sudah begini, maka, sesibuk apapun aku —dengan terpaksa ataupun dengan kerelaan— aku harus punya waktu untuk mendengarkannya. Kebetulan adikku sedang weekend di kotaku. Dia sedang menyelesaikan studi masternya di salah satu kota di daerah barat Jerman, tetapi saat ini dia sedang melakukan pratikum (kalau di Indonesia setara dengan kerja praktek) di salah satu kota di bagian selatan. Kebetulan aku tinggal di kota antara barat dan selatan, sehingga dia mampir sebentar sekalian untuk menjengukku.
"Aku kenal dia belum sampai setahun di tempat aku pratikum." Adikku mulai bertutur. "Pertama kali aku kenal dengan dia, orangnya sih biasa saja, nothing special. Mungkin karena kita sama-sama dari Indonesia, apalagi sesama muslim. So, akhirnya kita jadi dekat dan akrab," tuturnya perlahan.
Hmm, tumben pikirku.
Aku sangat kenal tabiat adikku yang satu ini. Dia tidak mudah untuk menyatakan seseorang itu adalah teman dekatnya. Adikku ini dalam bergaul emang teramat sangat jaim dan introvert.
"Tumben, kamu punya temen deket dek, yang Mba tau, temen yang kamu anggap deket sejak lahir ampe sekarang kamu idup kan gak sampe 5 biji, hihi," kembali aku menggodanya.
"Pasti ada sesuatu yang yang membuat kamu betah dekat dengan dia, bener nggak? kali ini aku mencoba meraba, gerangan apakah yang membuat adikku ini bisa akrab dengan mahluk yang katanya aneh ini.
"Mba tau?"
"Ya nggak lah, wong kamunya belum bilang kok, gimana Mba bisa tau?" dengan sengaja aku memotong pembicaraannya.
"Aku benar-benar menyayanginya dengan sepenuh hatiku." Adikku berkata lembut dengan sorot mata penuh kekaguman.
’’What, wie bitte? Barusan kamu bilang apa? entar dulu, orang yang sedang adek bicarain ini laki apa perempuan sih?" tanyaku bergegas.
"Pffhh, Mba ini nyebelin banget! Ya cowok lah!" jawabnya ketus.
"Emm, cowok toh," jawabku ringan sambil tersenyum lebar.
"Ikhwan?" timpalku lagi.
"Hmm, kalo yang Mba maksud adalah lelaki berjenggot dan dengan segala atributnya, mungkin dia gak termasuk kategori ini deh."
"So, dia lelaki jenis yang mana?" tanyaku datar.
"Susah buat memberi definisinya, yang aku tau kalau dilihat dari luarnya, dia adalah lelaki biasa-biasa saja. Tampangnya dan gaya bicaranya gaul banget. Tetapi, kalau kita kenal dia lebih jauh, bagiku dia adalah cowok keren, dengan segala makna yang terkandung di dalamnya!" kembali adikku berkata dengan sorot mata berbinar.
"Tapi tadi katanya dia mahluk aneh? kok sekarang jadi mahluk keren? gak konsisten kamu ah," kembali aku menggoda adik bungsuku ini.
Hmm, kalau kata-kata pujian atau kekaguman keluar dari mulut adikku ini, berarti kualitas orang yang sedang dibicarakannya adalah memang bukan sembarangan. Adikku ini sangat pelit dengan pujian, atau mengakui kekagumannya kepada seseorang. Karena dia punya standar yang cukup tinggi dalam memberikan penilaian. Bagiku wajar saja, toh dia sendiri adalah kebanggaan di keluarga kami. Dia menyelesaikan S1-nya di jurusan teknik dalam waktu 3,5 tahun dengan predikat cum laude di Institut bergengsi.
Semenjak semester kedua kuliah dia sudah hidup mandiri dengan hasil keringatnya sendiri. Mendapatkan beasiswa top-ten student Indonesia dan penghasilan di sana sini dengan kepiawaiannya mengajar. Selain padat dengan jadwal kuliah dan mengajar privat, dia menyempatkan diri pula untuk mengajar mengaji anak-anak di masjid dekat rumah kontrakan kami. Menghidupkan masjid, mencarikan orang tua asuh bagi anak-anak kurang mampu yang menjadi murid mengajinya, dan bahkan terkadang merangkap menjadi imam dan muadzin, bahkan tukang ojek part time mama kalau pergi ke pengajian.
"Coba Mba tebak ya, dia pasti sholeh? Bener nggak? Trus, pekerja keras. Iya khan? and, apalagi ya? ah, palingan seputar itulah, gak bakalan jauh-jauh dari situ, iya kan?" Kataku dengan senyum penuh kemenangan. Karena aku yakin sekali, tebakanku kali ini tidak akan meleset jauh.
"Secara umum bener sih. Tapi cara sholehnya itu loh mba, yang gak masuk dalam jangkauan akalku," jelasnya sambil menerawang jauh.
"Maksudnya? Mba gak ngerti," tanyaku dengan sedikit rasa penasaran dibenakku.
"Kita sekarang ini bukan sedang di Indonesia Mba. Kalau aku temuin dia di Indonesia, ato di Bandung misalnya, mungkin bagiku sih biasa aja. Tapi, kalau untuk ukuran di sini —di Jerman— hmm berat!’’ tuturnya sambil menghela nafas.
Aku terdiam sejenak dan mulai menaruh perhatian pada apa yang barusan diucapkan oleh adikku. Dalam hati aku membenarkan ucapan adikku barusan. Untuk istiqomah tetap pada aturan Allah di sini tidaklah semudah mengucapkannya. Butuh perjuangan dan kesungguhan penuh. Untuk melakukan ibadah rutin —sholat lima waktu— tidaklah semudah di Indonesia. Belum lagi untuk selalu berhati-hati dalam segala hal, menjaga diri dari makanan haram dan menjaga pandangan misalnya. Benar-benar butuh azzam.
"Dia temenmu sama-sama kuliah? Dia sedang ambil Master juga di sini? Dia ikut tarbiyah?" tanyaku beruntun.
"Aku ketemu dia ketika sedang pratikum di Ulm. Dia juga sedang berjuang menyelesaikan program masternya."
"Beasiswa?" tanyaku penasaran.
"Ndak. Dia kuliah sambil bekerja part-time di sini."
"Maksud Mba, beasiswa dari keluarga?" timpalku sambil tersenyum simpul.
"Ndak juga. Dia tidak mau menerima kiriman dari orang tuanya dari Indonesia. Dia nggak tega, soalnya mereka sudah cukup tua katanya." jawab adikku sambil tetap menjawab dengan nada serius.
"Oo gitu." jawabku sambil berfikir, mencari bagian yang aneh tentang temennya tersebut.
"Mba tau, setiap waktu sholat tiba, dia akan segera berwudhu, mengenakan pakaian terbaiknya, dan selalu mengumandangkan adzan di kamarnya." lanjut adikku dengan kalem.
"Maksudmu? adzan di apartementnya?" tanyaku untuk memastikan pendengaranku.
"Iya. Bila kita kebetulan tidak sedang di luar apartement, dia selalu melakukan hal tersebut."
"Bahkan ketika kamu sedang berada di kamarnya?" selidikku lagi.
"Iya, dia tidak pernah perduli apakah lagi sendiri ataukah ada teman yang sedang mengunjunginya. Bila waktu sholat telah tiba, dia dengan cueknya adzan di kamarnya dengan suara yang syahdu dan mengajak sholat berjamaah." Dengan semangat adikku menjelaskan.
"Hmm, unik juga ya." sahutku sambil mencerna ucapan adikku.
Setelah hening sejenak, aku kembali bertanya kepada adikku.
"Adek pernah tanya ke dia nggak, kenapa dia melakukan hal itu?" selidikku penasaran.
"Pernah sih, setelah aku mati penasaran melihat tingkahnya yang nggak cuma sekali itu."
"Trus apa jawabannya?" Kucondongkan mukaku menanti jawaban dari mulut adikku.
"Dia bilang waktu sholat sudah tiba, dan dia merasa berkewajiban untuk menyeru menegakkan sholat, menghadap Allah untuk mencapai kemenangan." lanjut adikku.
"Tapi kan kadang-kadang di apartemennya cuma ada dia sendirian. So, dia adzan buat siapa?" lanjutku dengan nada yang sedikit tecekat di tenggorokan.
"Iya emang." jawab adikku dengan sorot mata berkaca, menggigit bibir bagian bawahnya, berusaha menahan agar bulir kristal dari bening matanya tidak tertumpah.
Mengertilah aku kini, gerangan perasaan yang tengah melanda di hati adik bungsuku ini. Dia tengah dilanda cemburu. Cemburu kepada saudaranya yang mengekspresikan rasa cintanya kepada Allah dengan cara yang tidak pernah terlintas di kepalanya.
"Mungkin itu emang ibadah ’andalannya’." lanjutku hanya untuk sekedar menetralisir perasaannya.
"Kamu kan juga punya ibadah favorit yang selalu berusaha istiqomah kamu lakukan dari dulu sampe sekarang." Kuucapkan kata-kataku dengan sebijak dan setenang mungkin.
Adikku hanya diam, menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku terjemahkan.
"Kamu Insya Allah masih istiqomah kan untuk selalu sholat subuh di masjid?" tanyaku lagi seraya menatap matanya hanya untuk sekedar memastikan.
Adikku mengangguk perlahan.
"Subuh di masjidnya di semua musim kan? Maksud Mba, mau summer ataupun winter kamu tetap sholat subuh di masjid kan?" lanjutku berusaha untuk mencairkan suasana.
Adikku kembali mengangguk.
"Tapi dia juga selalu sholat subuh di Masjid Mba. Mau sedingin apapun winter di sana, dia tetap untuk berusaha sholat subuh di Masjid." Lanjut adikku lagi.
"Asik doong, kalo gitu kamu punya temen buat sholat subuh," lanjutku lagi dengan nada setenang mungkin, dengan segenap gemuruh cemburu di dadaku.
Subhanallah, dari dasar hati yang terdalam, aku benar-benar memberikan dua jempol untuk mereka berdua. Untuk sholat shubuh tepat waktu, serta berjamaah di masjid —di negeri ini— benar-benar dibutuhkan energi kesholehan yang luar biasa. Aku tahu, tidak semua orang sanggup melakukannya. Hanya orang-orang yang sudah terbiasa melakukannya dan menjadi bagian yang tak terpisah dari jiwanya saja yang akan sanggup melaksanakannya. Dengan jadwal shubuh yang tidak tetap seperti di Indonesia, dengan masjid yang tidak selalu ada di setiap kota, serta dengan jiwa yang selalu berusaha istiqomah melakukannya, tentu, hanya akan bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan saja!
"Aku mempunyai beribu kenangan indah dengan temanku ini Mba. Dari dia aku belajar banyak hal. Tentang arti ketulusan, kejujuran, kelembutan hati, dan terutama cara dia mengekspresikan cintanya kepada Allah. Pernah suatu hari sedang terjadi gerhana bulan. Dia menelponku dan mengajakku untuk melakukan sholat sunat gerhana bulan di Masjid. Karena dia mengikuti beberapa kajian di Masjid, Imam Masjid di sana cukup dekat dengan dia, sehingga dia mendapatkan informasi tentang adanya sholat gerhana bulan tersebut. Aku sih senang-senang saja diajak sholat gerhana bulan. Apalagi waktu itu hari Jumat, dan kupikir Insya Allah tidak akan lama. Aku nggak tau kalau yang bakalan jadi imamnya ternyata seorang hafidz Quran. Di rakaat pertama beliau membaca surat Ali Imron, dan di rakaat kedua kalau aku nggak salah Beliau membaca surat An-Nisa. Kebayang kan berapa lama jadinya?" adikku bercerita dengan bersemangat tapi dengan mimik muka yang masam.
Aku hanya tersenyum geli mendengar cerita adikku.
"Wah, bagus buatmu dong dek! Jadi sekalian ngulang hafalan Ali Imronmu, haha." aku berkata seraya tak kuasa menahan gelak tawaku, karena terbayang di benakku wajah adikku yang manyun dengan kaki yang pegal dan hati bertanya-tanya, kapan sholatnya bakalan kelar!
"Dan Mba tau nggak? Tadinya aku mau complaint tentang imam yang gak ‘care’ banget dengan jamaah yang mungkin cape karena surat yang dibacanya panjang baget ke temanku itu. Tetapi ketika aku melihat wajahnya yang begitu bahagia dan tidak sedikitpun terlihat letih, aku urungkan niatku untuk sedikit 'complaint'. Aku tidak habis pikir, semangat apa yang ada di dalam jiwanya, sehingga dia tidak terlihat lelah sedikitpun kala itu. Karena aku tahu, beban kuliah ditambah dengan beban untuk mencari rezeki untk menyambung hidup di sini, sudah cukup untuk membuat kita letih. Setelah sholat gerhana bulan selesai, aku dan temanku pulang dengan mengendarai sepeda kami dan dengan udara yang teramat sangat dingin. Mba pasti bisa membayangkan gimana cuaca jam 3 pagi di musim dingin di daerah selatan Jerman. Tapi ketika itu, yang aku rasakan hanyalah kehangatan suasana persaudaraan karena Allah semata. Begitu indah. Di negeri yang hampir sebagian besar penduduknya tidak mengenal Allah, kutemui saudaraku yang begitu dalam kecintaannya kepada Allah, yang bukan hanya sekedar di bibir saja. Karena tatap mata tidak pernah berdusta Mba. Aku benar-benar temukan binar mata dengan luapan rasa cinta yang begitu indah pada dirinya, ketika dia beribadah kepada Allah. Dia benar-benar mengayuh sepedanya pulang kerumah dengan segenap energi cintanya kepada Allah. Kalau mengingat kejadian itu, aku jadi malu sendiri dan serasa bermimpi. Hari gini, di sini, kutemui salah seorang yang dalam pandanganku begitu mencintai Allah. Dan di hati kecilku aku bertanya, bagaimanakah keadaaan para sahabat di zaman Rosulullah, sahabat dan para salafus sholeh? Bagaimana cara mereka mengekspresikan rasa cintanya kepada Allah?" adikku menarik nafasnya perlahan dan menghembuskannya dengan penuh kegalauan.
Sungguh, akupun hanya bisa termangu ketika mendengarkan cerita adikku tentang temannya yang ‘aneh’ itu. Dan aku menjadi penasaran dengan keanehan yang mungkin saja masih ada dalam dirinya.
"Trus, kerjaan ‘aneh’ apalagi yang dia lakuin selain itu dek?" tanyaku untuk mengetahui kebaikan tersembunyi apalagi yang bisa aku gali dan berharap bisa belajar banyak darinya. Adikku tersenyum misterius dan menggeleng gelengkan kepalanya perlahan.
"Kalau aku ceritain ke Mba, Mba pasti bilang aku sedang membual," jawab adikku sekenanya.
"Ya nggak lah, Insya Allah Mba percaya kok. Lagian kan gak ada untungnya juga buat kamu kalau kamu bohong," jawabku berusaha meyakinkannya.
"Pernah suatu hari, secara tidak sengaja dia menggunakan wireless internet connection yang tidak di password sama yang punya. Setelah selesai memakainya, dia baru tersadar, kalau itu sebenarnya adalah bukan haknya. Mba tau, apa yang kemudian dia lakukan?" Tanya adikku seraya menatapku dalam.
Aku hanya diam dan menggelengkan kepala.
"Dia berusaha mencari sang empunya wireless internet connection itu. Dia datangi rumahnya, dengan tujuan supaya sang pemilik menghalalkan internet connection yang telah dipakainya karena kekhilafannya." papar adikku.
Aku hanya melongo mendengarkan penuturan adikku.
"Dan, apa dia ketemu dengan sang empunya," tanyaku penasaran.
"Sayangnya tidak. Tetapi dia mendatangi rumah tersebut hingga tiga kali untuk menyempurnakan ikhtiarnya." Lanjut adikku lagi seraya menghela nafas.
"Kok seperti kisah ayah Imam Hanafi yang minta dihalalkan sang empunya apel, karena telah memakan buah apelnya secara tidak sengaja ya dek?" komentarku spontan.
"Benar. Aku juga memikirkan hal yang sama dengan yang Mba pikirkan. Itulah dia temanku itu. Dia begitu Hanif. Refleksi dari kesholehannya itu kadang-kadang membuat aku iri. Dan terkadang sesuatu yang unpredictable bagiku, tidak bisa kuduga. Aku benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan aku dengan orang seperti dia, sehingga banyak yang telah aku pelajari dari dia. Cara dia beribadah dan menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal baginya. Cara dia mejaga diri dan menjaga pandangan. Serta llisannya yang selalu menyebut nama Allah dalam setiap pembicaraannya, menunjukkan betapa dia begitu mencintai Rabbnya. Dia adalah sahabatku, saudaraku. Bagiku ia adalah sosok seorang pemuda sholeh yang tidak dikenal, ahli ibadah yang tersembunyi di ujung Jerman." Adikku berkata syahdu dengan segenap perasaan sendu yang tidak kumengerti.
Setelah mendengar cerita adikku itu, lama aku merenung, mencoba memahami hikmah dan pelajaran yang Allah sampaikan kepadaku. Teringat akan salah satu artikel yang pernah aku baca di majalah Tarbawi edisi 133. Ketika Allah kagum pada seorang pengembala. Dengan apa? Bila tiba waktunya untuk sholat, di padang lapang itu, ia berdiri mengumandangkan adzan. Sendirian. Lalu sholat. Sendirian. ’’Sesungguhnya Tuhanmu kagum kepada seorang pengembala kambing’’. Begitu Rasulullah menjelaskan. Istimewa? Ini baru istimewa. Ya bahkan sangat istimewa. Seperti diriwayatkan Abu Dawud dan Nasa’i, setelah pengembala itu melakukan shalat, Allah SWT berfirman: ’’Lihatlah hamba-Ku ini, ia adzan, lalu mendirikan sholat. Ia takut kepada-Ku. Aku telah mengampuninya, dan aku masukkan ia ke surga.’’
Subhanallah. Di zaman yang penuh fitnah, masih ada pemuda-pemuda yang tetap taat beribadah kepada Allah. Pada zaman ketika kebaikan dan keburukan menjadi begitu tak jelas maknanya. Pada tempat di mana segala kemaksiatan begitu bebas terbuka untuk dilakukan oleh siapa saja, bagiku, keberadaan mereka benar-benar luar biasa. Bak oase di gersangnya sahara. Menyejukkan.
Di penghujung senja, dalam sejuta kecamuk di dadaku. Berbaur bangga, cemburu dan bahagia, kutitip do’a pada malaikat yang bertugas hari itu.
Semoga Allah selalu berikan kekuatan istiqomah kepadamu brother. Tetaplah menjadi lelaki subuh. Tetaplah kumandangkan adzan hingga getar cinta dalam syahdunya suaramu menggetarkan kerajaan langit dan segenap penduduknya. Tetaplah teguh dalam kesholehanmu. Dalam kesendirianmu. Tetaplah menjadi pemuda yang tidak dikenal oleh segenap penduduk bumi, tapi selalu menjadi pembicaraan di seluruh penjuru langit yang tinggi, karena kesholehanmu, karena kecintaamu kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar