Kabut tipis menyamarkan Temanggung. Saat mayoritas penduduk kota kecil ini lebih memilih berpura-pura tidak tahu bahwa matahari sudah lama terbit -menarik lagi selimut tebal, membungkus diri, memejamkan mata kembali- aku mengayuh sepedaku. Dibelakangku satu krat telur asin terikat kuat dengan tali terbuat dari ban sepeda yang sudah rusak, roda-roda usang sepedaku bergulir melintasi jalanan sepi, perlahan-lahan, untuk menjaga agar telur-telur yang kubawa tidak pecah. Mataku menangkap pemandangan khas yang tak akan aku temui di kota sepanjang perjalanan. Beberapa becak berisi ragam sayuran mendahuluiku, mereka hendak ke pasar. Kerbau beserta gudhel-gudhel[1]nya beriringan menuju sungai, Ibu-ibu-yang sudah usia nenek-menggendong bakul berisi ikan panggang dari laut, menawarkan dagangannya door to door, meneriaki setiap rumah sambil berdo’a agar empunya berniat membeli ikan yang ia tawarkan, “Bu… ulame, bu…”[2].
Pagi di kota ini sangat dingin sekali. Air yang mengendap di dalam bak mandi, atau genthong[3] yang dilubangi kecil untuk berwudlu, atau air yang mendiami kolam, sedingin air dalam lemari es. Membuat enggan siapapun untuk bersentuhan dengannya. Meskipun begitu, setengah jam kemudian, udara Temanggung tak lagi jadi alasan untuk menunda aktivitas. Ketika aku kembali mengayuh sepedaku, kembali dari tugasku mengantarkan telur pesanan pelanggan, anak-anak sekolah sudah ramai memenuhi jalan. Bapak-Ibu guru, para pedagang di pasar, pegawai pemerintahan, karyawan bank, para petani, tukang becak, dan entah apa lagi profesinya, berlalu-lalang menuju ke tempat kerja masing-masing. Ah, aku mendesah. Sungguh indahnya, rutinitas kesibukan yang menyenangkan, mekanisme maha dasyat yang direkayasa Tuhan. Tak tahu kenapa aku merasa pemandangan pagi yang kusaksikan di jalanan sekarang sungguh in….
“Gubrak!” Astaghfirullah…..
Aku meringis menahan sakit, telapak kananku menyentuh lengan kiriku secara reflek, dan menemukan bagian lecet yang membuatku meringis lagi. Seseorang menabrakku barusan, aku tak sempat melihat siapakah itu, hanya punggungnya yang terlihat berlalu cepat dan tergesa-gesa.
“Berhenti Le….. Senja…. Berhenti….. Astaghfirullaaaaaahh……………………. Senjaaa…………” teriak Mak Lastri sekuat tenaga. Ibu pemuda yang dipanggilnya Senja tadi. Otakku menyimpulkan dengan cepat, Senja yang menabrakku. “ Senja…………. Berhenti, le……” ulangnya dengan nada lebih rendah, putus asa. Kulihat air mata berjatuhan di pipinya. Lalu samar-samar kudengar Mak Lastri mulai terisak. Ada apa sebenarnya?
Rabu, 12 Januari 2011
“ Ibu baru tahu cerita lengkapnya kemarin, Rim…” aku mengerutkan kening, berusaha menebak arah pembicaraan Ibu. “Cerita apa?” tanyaku. Tanganku masih sibuk dengan batu-bata yang dihancurkan dan dihaluskan, dan garam, lalu menimbunkan telur-telur bebek kedalamnya, aku sedang membuat telur asin.
“ Itu, yang kamu jatuh di depan rumah Mak Lastri,” sambung Ibu sembari memindahkan telur yang sudah asin ke dalam kotak kayu beralas gabus cembung-cekung, kami menyebut kotak itu ‘krat’.
“ Oh… “ sahutku. “Dapet gossip dari mana?”
“hus! Ibu ndak nggosip, Rim… langsung Mak Lastri sendiri yang cerita ke Ibu…” Ibu membela diri. Aku tersenyum kalah. “nyuwun ngapuro nggih, bu…” kataku dengan nada guyon.[4] Ibu terkekeh sesaat.
“Hari itu Senja mengambil uangnya Mak Lastri yang disimpan di bawah ranjang.” Ibu memulai ceritanya. “Mak Lastri langsung berusaha menghentikan Senja begitu memergokinya, tapi Senja terlanjur lari kalang-kabut, ndak bisa dikejar.”
“Kenapa Senja begitu, bu?”
“ Mak Lastri ndak cerita.”
Jum’at, 28 Januari 2011
Sudah lebih dari dua minggu kejadian larinya Senja dari rumah, sudah dua minggu lebih juga Mak Lastri duduk di teras rumahnya menatap arah barat. Menanti Senja kembali. Ketika jalanan legang Mak Lastri menatap penuh harap, berdo’a semoga salah satu yang lewat adalah Senja yang berjalan pulang kepadanya. Ketika jalanan ramai oleh orang berlalu-lalang, Mak Lastri beranjak dari duduknya, mendekati pagar dan mengawasi jalanan dengan seksama, mencuri pandang dari celah-celah pengguna jalan, berharap Senja muncul dari balik kendaraan yang seliweran, mendekatinya dan memeluknya penuh rindu. Lalu kala ia menyadari usahanya sia-sia, Mak Lastri akan duduk lagi di kursinya sampai Senja di langit datang menjelang, atau sampai semua pengeras suara di segenap masjid mendengungkan adzan mengajak sholat maghrib.
Aku ikut sedih melihat kesedihan yang menggelayut hebat di wajah Mak Lastri. Pandangan matanya sayu dan sarat rindu pada putra bungsunya, Senja. Sadar sedang diperhatikan olehku, Mak Lastri menoleh dan tersenyum.
“ Kuliah, Rim?” tanyanya ramah.
Aku tersenyum, “Nggih, Mak… “
“ Kok jalan kaki sendirian? Masmu mana?” tanyanya lagi. “ Kulo Mpun ditinggal mas Mak … Mas berangkat pagi, Monggo[5] mak….” Mak Lastri mengiyakan sambil menyunggingkan senyum yang ramah. Ah, Senja…. Kurang bersyukur kamu, punya Ibu yang begini baik tapi malah kamu tinggal pergi dan kamu buat ia sedih.
Senin, akhir Februari 2011
Aku menumpangi angkutan terakhir hari ini. Berdesakan dengan puluhan penumpang lain yang berdiri sepertiku. Bis ini sudah sangat penuh, hingga kondektur pun sulit bergerak. Tapi meskipun begitu, tetap saja menambah jumlah penumpang sampai beberapa mereka terdengar mengomel kesal, menyalah-nyalahkan si kondektur dan sopir bis. Aku malas ikut-ikutan, karena sekesal apapun aku dan sekuat apapun aku mengomel toh tidak akan mengubah keadaan.
Herannya, di saat sulit seperti ini, seorang pemuda yang berdiri tak jauh dariku mengulurkan tangannya ke arah tas yang kugantung di lengan. Ia mencari kesempatan dalam kesempitan, ia berusaha mencari penghidupan dengan cara yang tidak dihalalkan kecuali oleh para pengangguran. Aku mengawasi tangan yang semakin mendekati tasku itu, aku sengaja diam dan menunggu, benarkah dia ingin mencopetku atau tidak. Tapi betapa terkejutnya aku begitu mengenali pemilik tangan pencopet itu, yang tampak dari sela-sela penumpang lain, adalah orang yang tak asing bagiku. Maka tepat ketika tangan copet masuk ke dalam tasku dan berhasil mengeluarkan dompetku, kugenggam pergelangannya hingga pemilik tangan itu tersentak dan kaget.
“ Kamu Senja, kan?”
Pemuda itu menatapku dengan shock. Terpaku di tempatnya.
____
“ Jadi sekarang profesi kamu, pencopet?”
Senja diam saja. Tak acuh. Ia memandang ke tanah yang ada di bawah kaki kami, kedua tangannya bertumpu di atas paha. Angin kotor jalanan menggoyangkan dedaunan di pohon yang kami sandari, sedang debu-debu beterbangan menerpa wajah kusut kami. Duduk di trotoar memang bukan pilihan yang tepat. “ Bukan urusan kamu.” Akhirnya ia menjawab.
“ Memang bukan,” aku mengakui. “Tapi setidaknya sebagai saudara seiman aku punya kewajiban untuk mengingatkanmu.” Lanjutku. Seperti tadi, Senja tidak merespon.
Aku yakin Senja sejatinya tahu betul yang ia lakukan tadi adalah perbuatan dosa yang tidak pantas dijadikan profesi. Apalagi Senja seorang yang pandai, selama sekolah dulu ia selalu mendapatkan ranking yang bagus di sekolah. Ia juga disenangi oleh guru ngaji kami karena ia cepat mengerti dan mempunyai suara merdu ketika mengaji. Senja yang kukenal putra Mak Lastri adalah seorang pemuda sholeh yang paham aturan agama, bukan pencopet.
“ Pulanglah, Nja….” Pintaku sedikit merajuk.
Senja tertawa getir.
“ Buat apa?” ada emosi dalam suaranya. “ toh dia tak peduli padaku.” Lanjutnya lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri.
“ Kamu panggil Mak kamu dengan sebutan “dia”? keterlaluan kamu, Ja…! ”
“Ck!… kamu ngga’ paham, Rim…”
“ Mak Lastri sangat menyayangimu, bahkan setelah kamu mencuri uangnya ia tetap memaafkanmu, tiap hari ia duduk di depan rumah menunggu kamu pulang… tak disangka yang ditunggu malah berbuat dosa dimana-mana…” Senja menatapku sinis. Ia tampak tak terima atas perkataanku, tapi ia tak berkomentar.
Senja beranjak dari duduknya dengan wajah marah. Aku tahu dia marah padaku. “ mau kemana, kamu?” sergahku. “Bukan urusan kamu.” Hardiknya seraya melangkah pergi, tetap tak acuhkan aku “pulanglah…. Mak kamu menunggumu…”
“Mak tidak akan menunggu aku!, Mak hanya memikirkan mas Fajar… ! kamu ngga’ tahu, kan?! Demi sekolah Mas Fajar Mak rela menjual tanahnya, tapi demi sekolahku, mana pernah Mak berkorban sebesar itu?!... Dari dulu semua yang Mas Fajar minta diberikan, tapi untukku? Mana pernah!...” Jerit Senja emosional, napasnya memburu. Saat melihat genangan air di pelupuk matanya barulah aku memahami, Senja terluka. Ia berlari dengan cepat meninggalkan aku dan segenap ketidak mengertianku. Ada apa antara Fajar, kakak Senja dan dirinya? Benarkah yang Senja tuduhkan pada Maknya?
Jum’at, 18 Maret 2011
Rutinitas pagiku mengantar telur asin ke tetangga pelanggan berganti pagi ini, pasalnya Ibu menyuruhku menemani Mak Lastri karena Ibu berusia 57 tahun itu sudah mulai sakit-sakitan. Ibuku bilang, mungkin Mak Lastri terlalu banyak memikirkan Senja. Cuaca buruk ataupun cerah tak mempengaruhinya dan tak membuatnya urung duduk di teras rumah menatap jalan penuh harap. Menanti Senja kembali. Padahal tubuh sepuh[6]nya sudah mulai ringkih, tak bisa menahan hempaan angin dingin dan sengatan panas matahari sebaik dulu. Alhasil, Mak Lastri sering sakit sekarang.
“ Mak… kalau Senja pulang, Mak masih mau marah padanya?” tanyaku setelah membantunya duduk di teras rumah. Mak Lastri batuk-batuk sesaat, lalu tersenyum padaku. “Kalau hanya ingin marah padanya, Mak ndak akan duduk terus disini menunggu dia pulang, Rim… buat apa Mak marah padanya sedangkan dia ndak salah. Senja hanya menuntut haknya, justru Mak yang ingin minta maaf padanya.. Mak sudah membuatnya merasa tidak dihiraukan.” Mak Lastri terbatuk-batuk lagi setelah menyelesaikan kalimatnya. Kesalah pahaman ini harus segera disudahi.
Minggu, 3 April 2011
Aku sengaja menunggu angkutan terakhir, berharap akan bertemu dengan Senja lagi di dalam angkutan itu. Tapi sayangnya, bis kali ini agak legang, tidak sepenuh kemarin. Aku jadi sangsi dan tidak yakin akan menemukan Senja melakukan aksinya sore ini. Sangat penting bertemu Senja hari ini karena Mak Lastri sudah seminggu terakhir ini sakit parah dan terus mengigau memanggil Senja. Aku khawatir akan ada sesal bagi Senja kalau ia tidak segera pulang dan menemui Maknya.
Ternyata Allah menyetujui niatku mempertemukan kedua anak dan Ibu itu, meskipun bis yang kutumpangi legang, Senja masuk ke dalamnya dan duduk tepat di sampingku. Alhamdulillah…. Dia tidak menyadari bahwa teman duduknya adalah aku.
“ Sudah waktunya kamu pulang, Senja….” Aku memulai pembicaraan. Senja menoleh dan agak kaget mendapati bahwa ia duduk di sampingku. Ia segera berdiri ingin pindah tempat duduk.
“Jangan pindah!” cegahku
Ia tidak peduli dan tetap pergi, bukan hanya berpindah tempat duduk tapi ia meminta supir menghentikan bis. Ia hendak turun. Secepat kilat aku berdiri di tempatku dan menjerit, “Mak kamu sakit parah!, kamu boleh tidak pulang… tapi kamu akan menyesal kalau tidak menemuinya!” Entah Senja mendengarnya atau tidak. Hanya Allah yang tahu.
Selasa, 12 April 2011
Mak Lastri dengan kondisinya yang sudah semakin mengkhawatirkan, menolak untuk dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Ia justru lebih memilih terus duduk di teras rumahnya, seperti hari-hari yang telah lalu. Menanti Senja kembali.
Hampir setiap hari sejak Mak Lastri jatuh pingsan di hari aku bertemu Senja seminggu yang lalu, aku datang ke rumahnya membawakan sarapan. Ia sudah tidak bisa lagi memasak sendiri. Malah beberapa kali sampai harus disuapi. Dokter yang pernah didatangkan dari Rumah Sakit Umum yang memeriksa Mak Lastri mengatakan bahwa ia angkat tangan, komplikasinya tidak bisa ditolong lagi. Tapi hebatnya Mak Lastri bisa bertahan sampai sejauh ini meskipun tanpa pengobatan, adalah karena ia menantikan Senja, ingin melihat Senja kembali.
Maka Allah mengabulkan permintaannya. Tepat ketika senja di langit datang, putranya juga datang dengan langkah goyah menujunya. Serta merta senyum di wajah Mak Lastri mengembang menyambut sang putra, “ Lee[7]…… “panggilnya penuh haru. Senja dengan tubuh compang-campingnya menyongsong Mak Lastri dan memeluknya. Ia menangis sesenggukan dalam pelukan orang yang melahirkannya. Mak Lastri mengucap hamdalah tiada henti, lalu melafadzkan syahadat dan kembali ke hadapan Sang Illahi Rabbi dengan wajah bahagia dan senyum damai. Senja tidak menyadari hal itu, ia masih terus menangis dan meminta maaf pada sang Ibu, menuturkan penyesalan yang mendalam karena tidak mengindahkan Maknya dan memilih jalan hidup yang salah.
Dan penyesalannya makin dalam ketika ia menemukan Maknya meninggal dengan memeluk kotak bertuliskan “ Untuk Senja ke Perguruan Tinggi”. Di dalam kotak itu ada sejumlah uang yang disisihkan Mak Lastri dari hasil panen. Senja baru menyadari ternyata Mak Lastri juga mencintainya sebanyak ia mencintai kakaknya.
Dua hari kemudian barulah Senja menceritakan kisahnya sehingga ia pulang dalam keadaan compang-camping babak belur. Rupanya Senja dipukuli oleh orang-orang yang memergokinya mencopet di bus umum. Lalu saat ia pingsan ia bermimpi bertemu Maknya dengan baju putih bersih tersenyum padanya dan meninggalkannya. Mimpi itu berulang beberapa kali antara sadar dan tidaknya Senja, dan membuatnya memutuskan untuk pulang.
"و قضى ربك أن لا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما أن يبلغنّ عندك الكبر أحدهما أو كلا هما فلا تقل لهما أف ولا تنهر هما وقل لهما قولا كريما "
by: cusna_bas@yahoo.com
[1] Anak kerbau
[2] Bu, ikannya, bu…
[3] Tong sedang terbuat dari tanah liat digunakan untuk menampung air
[4] Minta maaf, bu. Guyon= bercanda.
[5] Saya sudah ditinggal mas saya. Monggo= Mari, Permisi
[6] tua
[7] “ Nak….” Panggilan untuk anak laki-laki atau perempuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar